SAP terapi bermain

3:46 PM


SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP)

Topik                 : Terapi Bermain
Pokok Bahasan : Terapi Bermain Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
                            Pengenalan Adaptasi Makhluk Hidup Terhadap Lingkungannya
Hari/ Tanggal    :
Waktu               : 35 menit
Tempat              : Ruang Kelas Bidang Studi IPA SLB-B Karya Ibu Palembang
Sasaran              : Anak Usia Sekolah (6-12 tahun) Kelas VI di SLB-B Karya Ibu
                            Palembang tahun 20

A.    TUJUAN
1.  Tujuan Umum
Terapi bermain ini dilakukan untuk merangsang perkembangan kemampuan fungsi afektif, kognitif, serta psikomotor anak khususnya dalam bidang studi IPA.

2.  Tujuan Khusus
a.       Memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak, anak dapat mengikuti kegiatan terapi bermain dengan perasaan gembira
b.      Mengarahkan perhatian anak untuk berkosentrasi dan terlibat aktif terhadap pelajaran
c.       Meningkatkan kemampuan anak untuk memahami pelajaran tentang proses adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungaannya

B.     MATERI
Terlampir


C.    METODE
Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah terapi bermain pengenalan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya dengan ceramah, diskusi, dan tanya jawab.

D.    MEDIA
Media yang digunakan dalam proses kegiatan terapi bermain ini adalah lembar contoh adaptasi, buku pelajaran IPA untuk SD, white board dan spidol.

E.     PENGORGANISASIAN
Terapis :

F.     PELAKSANAAN KEGIATAN
No.
Kegiatan
Kegiatan Terapis
Kegiatan Anak
Waktu
Media / Alat
Metode
1.
Pembukaan

·          Membuka kegiatan terapi bermain dengan mengucapkan salam terapeutik
·          Memperkenalkan diri

·          Menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilakukan
·          Menjawab salam




·       Memperhatikan


·       Memperhatikan
5 menit






-




-


-
Ceramah




Ceramah


Ceramah
2.
Proses

·          Menjelaskan tentang proses adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya (adaptasi morfologi, fisiologi, dan tingkah laku)
·          Memberikan contoh / demonstrasi pada anak tentang proses adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya

·       Mengajak anak untuk bermain mengisi tabel tentang contoh jenis-jenis adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya
·          Mengakhiri permainan setelah waktu yang ditetapkan berakhir
·       Memperhatikan








·       Memperhatikan








·       Melakukan permainan






·       Mengakhiri permainan

20 menit
·  Buku pelajaran IPA, white board, spidol



·  Buku pelajaran IPA, white board, spidol, lembar contoh adaptasi
·  lembar contoh adaptasi
Ceramah








Ceramah, tanya jawab, dan simulasi





Terapi bermain






Ceramah

3.
Penutup

·           Menanyakan perasaan anak setelah mengikuti kegiatan
·           Memberikan reward kepada anak

·           Menutup kegiatan terapi bermain dengan mengucapkan salam
·        Mengungkapkan perasaan


·        Menerima reward dan megucapkan terima kasih
·          Menjawab salam



10 menit
-



-



-
Tanya
jawab dan diskusi

Ceramah



Ceramah


H.  EVALUASI
a.       Anak mengikuti kegiatan permainan dengan perasaan senang dan gembira
b.      Anak berkonsentrasi terhadap pelajaran dan permainan yang diberikan
c.       Anak dapat mengetahui tentang proses adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya




TINJAUAN TEORITIS


1.                  Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbahan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat di ukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Wong, 2004).
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak terdapat suatu peristiwa yang diaalminya yaitu, masa percepatan dan perlambatan. Masa tersebut akan berlainan dalam satu organ tubuh. Pertumbuhan dan perkembangan secara intelektual anak dapat dilihat dari kemampuan secara symbol  maupun abstrak seperti seperti berbicara, bermain, dan bertualang, membaca dan lain-lain. Sedangkan perkembangan secara emosional anak dapat dilihat dari penilaian sosial dilingkungan anak. Faktor pengaruh tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a.       Faktor herediter
b.      Faktor lingkungan
1)      Pranatal
2)      Intranatal dan
3)      Postnatal
c.       Faktor hormonal

2.                  Konsep Bermain
2.1.            Definisi Bermain
Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial, dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunukasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2000 dalam Supartini, 2004).
Bermain sama dengan pekerjaan pada orang dewasa, dan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta cara yang paling efektif untuk menurunkan stres pada anak, dan penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak (Campbell dan Glaser, 1995 dalam Supartini, 2004).
Bermain adalah  kegiatan yang menyenangkan/ dinikmati secara fisik, intelektual, emosi, sosial, dan digunakan untuk belajar, perkembangan mental dan bermain (Harnawatiaj, 2008). Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau memperaktikan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Aziz, 2005).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bermain adalah kegiatan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, yang dapat menurunkan stres anak, media yang baik bagi anak untuk belajar berkomunikasi dengan lingkungannya, menyesuaikan diri dengan, belajar mengenal dunia sekitar kehidupannya, dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan mental serta sosial anak.

2.2.            Fungsi Bermain
Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensori dan motorik, perkembangan intelektual, perkembangan social, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral, dan bermain sebagai terapi.
a.  Perkembangan Sensori Motorik
1)      Memperbaiki keterampilan motorik kasar dan halus serta koordinasi
2)      Meningkatkan perkembangan semua indera
3)      Mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia
4)      Memberikan pelampiasan kelebihan energi

b. Perkembangan Intelektual
1)      Memberikan sumber-sumber yang beranekaragam untuk pembelajaran
2)      Eksplorasi dan manipulasi bentuk, tekstur, warna
3)      Pengalaman dengan angka, hubungan yang renggang, konsep abstrak
4)      Kesempatan untuk mempraktikkan dan memperluas keterampilan berbahasa
5)      Memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa lalu dalam upaya mengasimilasinya ke dalam persepsi dan hubungan baru
6)      Membantu anak memahami dunia di mana mereka hidup dan membedakan antara fantasi dan realita

c.  Perkembangan Sosial dan Moral
1)      Mengajarkan peran orang dewasa, termasuk perilaku peran seks
2)      Memberikan kesempatan untuk menguji hubungan
3)      Mengembangkan eterampilan sosial
4)      Mendorong interaksi dan perkembangan sikap yang posirif terhadap orang lain
5)      Menguatkan pola perilaku yang telah disetujui oleh standar moral

d.       Kreativitas
1)      Memberikan saluran ekspresif untuk ide dan minak yang kreatif
2)      Memungkinkan fantasi dan imajinasi
3)      Meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus

e.  Kesadaran Diri
1)      Memudahkan perkembangan identitas diri
2)      Mendorong pengatuan perilaku sendiri
3)      Memungkinkan pengujian pada kemampuan sendiri dan kemampuan orang lain
4)      Memungkinkan kesepatan untuk belaja bagaimana perilaku sendiri dapat mempengaruhi orang lain

f.  Nilai Terapeutik (Bermain Sebagai Terapi)
1)      Memberikan pelepasan stres dan ketegangan
2)      Memungkinkan ekspresi emosi dan pelepasan implus yang tidak dapat diterima dalam bentuk yang secara sosial dapat diterima
3)      Mendorong percobaan dan pengujian situasi yang menakutkan dengan cara yang aman
4)      Memudahkan komunikasi verbal tidak langsung dan nonverbal tentang kebutuhan, rasa takut, dan keinginan

2.3.            Macam-Macam Bermain
Kegiatan bermain dapat diklasfikasikan menjadi dua, yaitu bermain aktif dan bermain pasif.
a.       Bermain Aktif
      Pada permainan ini anak berperan secara aktif, kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri. Bermain aktif meliputi:
1)      Bermain mengamati / menyelidiki (Exploratory Play)
Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat permainan tersebut, memperhatikan, mengocok-ocok apakah ada bunyi, mencium, meraba, menekan dan kadang-kadang berusaha membongkar
2)      Bermain konstruksi (Construction Play)
Pada anak umur 3 tahun dapat menyusun balok-balok menjadi rumah-rumahan
3)      Bermain drama (Dramatic Play)
Misal bermain sandiwara boneka, main rumah-rumahan dengan teman-temannya
4)      Bermain fisik
            Misalnya bermain bola, bermain tali dan lain-lain
b.      Bermain Pasif
      Pada permainan ini anak bermain pasif antara lain dengan melihat dan  mendengar. Permainan ini cocok apabila anak sudah lelah bernmain aktif dan membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya. Contoh Melihat gambar di buku/majalah.,mendengar cerita atau musik,menonton televisi.
      Dalam kegiatan bermain kadang tidak dapat dicapai keseimbangan dalam bermain, yaitu apabila terdapat hal-hal seperti dibawah ini :
1)      Kesehatan anak menurun. Anak yang sakit tidak mempunyai energi untuk aktif bermain
2)      Tidak ada variasi dari alat permainan
3)      Tidak ada kesempatan belajar dari alat permainannya
4)      Tidak mempunyai teman bermain

2.4.            Alat Permainan Edukatif
            Alat Permainan Edukatif (APE) adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya dan tingkat perkembangannya, serta berguna untuk:
a.       Pengembangan aspek fisik, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang atau merangsang pertumbuhan fisik anak, trediri dari motorik kasar dan halus
Contoh alat bermain motorik kasar: sepeda, bola, mainan yang ditarik dan didorong, tali, dll. Motorik halus : gunting, pensil, bola, balok, lilin, dll
b.      Pengembangan bahasa, dengan melatih berbicara, menggunakan kalimat yang benar
Contoh alat permainan: buku bergambar, buku cerita, majalah, radio, tape, TV
c.        Pengembangan aspek kognitif, yaitu dengan pengenalan suara, ukuran, bentuk.   Warna
Contoh alat permainan: buku bergambar, buku cerita, puzzle, boneka, pensil warna, radio
d.      Pengembangan aspek sosial, khususnya dalam hubungannya dengan interaksi ibu dan anak, keluarga dan masyarakat
Contoh alat permainan: alat permainan yang dapat dipakai bersama, misal kotak pasir, bola, tali

2.5.            Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Bermain
a.       Bermain/alat bermain harus sesuai dengan taraf perkembangan anak
b.      Permainan disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak
c.       Ulangi suatu cara bermain sehingga anak terampil, sebelum meningkat pada keterampilan yang lebih majemuk
d.      Jangan memaksa anak bermain, bila anak sedang tidak ingin  bermain
e.       Jangan memberikan alat permainan terlalu banyak atau sedikit


2.6.            Bentuk-Bentuk Permainan
a.       Usia 0 – 12 bulan
Tujuannya adalah:
1)      Melatih reflek-reflek (untuk anak berumur 1 bulan), misalnya mengisap,     menggenggam
2)      Melatih kerjasama mata dan tangan
3)      Melatih kerjasama mata dan telinga
4)      Melatih mencari obyek yang ada tetapi tidak kelihatan
5)      Melatih mengenal sumber asal suara
6)      Melatih kepekaan perabaan
7)      Melatih keterampilan dengan gerakan yang berulang-ulang

Alat permainan yang dianjurkan:
1)      Benda-benda yang aman untuk dimasukkan mulut atau dipegang
2)      Alat permainan yang berupa gambar atau bentuk muka
3)      Alat permainan lunak berupa boneka orang atau binatang
4)      Alat permainan yang dapat digoyangkan dan keluar suara
5)      Alat permainan berupa selimut dan boneka

b.      Usia 13 – 24 bulan
Tujuannya adalah:
1)      Mencari sumber suara/mengikuti sumber suara
2)      Memperkenalkan sumber suara
3)      Melatih anak melakukan gerakan mendorong dan menarik
4)      Melatih imajinasinya
5)      Melatih anak melakukan kegiatan sehari-hari semuanya dalam bentuk kegiatan yang menarik
Alat permainan yang dianjurkan:
1)      Genderang, bola dengan giring-giring didalamnya
2)      Alat permainan yang dapat didorong dan ditarik
3)      Alat permainan yang terdiri dari: alat rumah tangga(misal: cangkir yang tidak mudah pecah, sendok botol plastik, ember, waskom, air), balok-balok besar, kardus-kardus besar, buku bergambar, kertas untuk dicoret-coret, krayon/pensil berwarna

c.       Usia 25 – 36  bulan
Tujuannya adalah:
1)      Menyalurkan emosi atau perasaan anak
2)      Mengembangkan keterampilan berbahasa
3)      Melatih motorik halus dan kasar
4)      Mengembangkan kecerdasan (memasangkan, menghitung, mengenal dan membedakan warna)
5)      Melatih kerjasama mata dan tangan
6)      Melatih daya imajinansi
7)      Kemampuan membedakan permukaan dan warna benda

Alat permainan yang dianjurkan:
1)      Alat-alat untuk menggambar
2)      Lilin yang dapat dibentuk
3)      Pasel (puzzel) sederhana
4)      Manik-manik ukuran besar
5)      Berbagai benda yang mempunyai permukaan dan warna yang berbeda.
6)      Bola

d.      Usia 32 – 72 bulan
Tujuannya adalah:
1)      Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan
2)      Mengembangkan kemampuan berbahasa
3)      Mengembangkan pengertian tentang berhitung, menambah, mengurangi
4)      Merangsang daya imajinansi dsengan berbagai cara bermain pura-pura (sandiwara)
5)      Membedakan benda dengan permukaan
6)      Menumbuhkan sportivitas
7)      Mengembangkan kepercayaan diri
8)      Mengembangkan kreativitas
9)      Mengembangkan koordinasi motorik
10)  Mengembangkan kemampuan mengontrol emosi, motorik halus dan kasar
11)  Mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak dan orang diluar rumahnya
12)  Memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan, misal: pengertian mengenai terapung dan tenggelam
13)  Memperkenalkan suasana kompetisi dan gotong royong

Alat permainan yang dianjurkan:
1)      Berbagai benda dari sekitar rumah, buku bergambar, majalah anak-anak, alat gambar & tulis, kertas untuk belajar melipat, gunting, air, dan lain lain
2)      Teman-teman bermain: anak sebaya, orang tua, orang lain diluar rumah

e.       Usia Prasekolah
Alat permainan yang dianjurkan:
1)      Alat olah raga
2)      Alat masak
3)      Alat menghitung
4)      Sepeda roda tiga
5)      Benda berbagai macam ukuran
6)      Boneka tangan
7)      Mobil
8)      Kapal terbang
9)      Kapal laut

f.       Usia sekolah
Jenis permainan yang dianjurkan:
1)      Pada anak laki-laki: mekanik
2)      Pada anak perempuan: dengan peran ibu

g.      Usia Praremaja (yang akan dilakukan oleh kelompok)
Karakterisrik permainnya adalah permainan intelaktual, membaca, seni, mengarang, hobi, video games, permainan pemecahan masalah

h.      Usia remaja
Jenis permainan: permainan keahlian, video, komputer, dan lain-lain



3.                  Konsep Tuna Runggu dan Tuna Wicara
3.1.            Definisi
Istilah tuna rungu diambil dari kata ‘tuna’ dan ‘rungu’, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara (Hadi, 2007).
 Tunarungu satu istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar (a hard of hearing). Orang yang tuli (a deaf person) adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan mendenar sehingga mengalami hambatan didalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid), sedangkan yang kurang dengar (a hard of hearing person) adalah sesorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukuup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengarannya, artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan hearing aid ia masih dapat menangkap pembicaraan melalui pendengarannya (Wardhani, 2007).
Sedangkan tuna wicara adalah merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara (Wardhani, 2007).
Menurut Aristoteles, orang yang bisu dan tuli adalah orang yang tidak dapat mendengar juga tidak dapat mengajar, belajat dan berfikir sebagaimana seseorang yang normal. Menurutnya, jika seseorang tidak dapat berbicara maka orang tersebut juga tidak mampu membangun kemampuan kognitifnya. Beberapa tahun selanjutnya terjadi perubahan bahwa seseorang yang menderita ketulian tidak berarti dia tidak mampu berkomunikasi sama sekali. Mereka menggunakan bahasa isyarat, membaca gerak bibir dan berbagai cara lain untuk tetap berkomunikasi dengan yang lainnya (Wardhani, 2007).
Defenisi penyandang tuna rungu wicara menurut dinas Sosial adalah seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari–hari secara layak/ wajar dengan kriteria:
a.       Tidak dapat mendengar atau memahami perkataan yang disampaikan pada jarak 1 meter tanpa alat bantu dengar
b.      Tidak dapat bicara sama sekali atau berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat dimengerti)
c.       Mengalami hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain

3.2.            Anatomi dan Fisiologi
Secara anatomi telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.


a.       Telinga Luar
Telinga luar terdiri daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus akustikus eksternus) sampai membrane timpani. Aurikula terdiri dari kulit dan tulang rawan elastin yang dilindungi oleh perikondrium. Meatus akustikus eksternus (MAE) berbentuk huruf S dengan rangka tulang rawan pada sepertiga luar, sedangkan pada dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm. MAE pada anak lebih pendek dan lurus sehingga membrane timpani lebih mudah diperiksa tanpa menggunakan spekulum. Pada sepertiga kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.

b.      Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus (kotak). Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji dengan batas-batas sebagai berikut:
·         Batas luar                    : Membrane timpani
·         Batas depan                : Tuba eustachius
·         Batas bawah                : Vena jugularis
·         Batas belakang            : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
·         Batas atas                    : Segmen timpani
Batas dalam                 : Kanalis semisirkularis horizontalis,kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium           
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

c.       Telinga Dalam
Terdiri dari koklea yang berupa 2,5 lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Puncak koklea disebut helikotrema, yang merupakan pertemuan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule disebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa dan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibule disebut membran Reissner sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membrane ini terdapat organ corti.


Suara sebagai gelombang getaran akan diterima oleh membrana tympani dan getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, incus, dan stapes) di rongga telinga tengah. Selanjutnya akan diterima oleh "oval window" dan diteruskan ke rongga cochlea serta dikeluarkan lagi melalui "round window". Rongga cochlea terbagi oleh dua sera menjadi tiga ruangan, yaitu scala vestibuli, scala tympani dan scala perilimfe dan endolimfe. Antara scala tympani dan scala medial terdapat membran basilaris, sel-sel rambut dan serabut afferen dan efferen nervus cochlearis.
Getaran suara tadi akan menggerakkan membrana basilaris, dimana nada tinggi diterima di bagian basal dan nada rendah diterima di bagian apeks. Akibat gerakan membrana basilaris maka akan menggerakkan sel-sel rambut dan terjadi perubahan dari energi mekanik ke chemoelectrical potensial dan akan dibawa oleh serabut afferen nervus cochlearis ke inti dorsal dan ventral. Kemudian menginhibisi input, bagian kontralateral bersifat mengeksitasi input. Tetapi ada juga yang langsung ke nukleus lemniskus lateral. Dari kompleks olivari superior serabutnya berjalan ke nukleus lemniskus lateralis dan sebagaian langsung ke colliculus inferior. Serabut-seravut ini membentuk lemniskus lateralis. Dari colliculus inferior serabutnya berlanjut lagi ke corpus genikulatum mediale (CGM) sebagai brachium colliculus inferior. Dari CGM ini serabutnya berjalan ke korteks serebri di area acustikus (area Broadmann, 41,42) dan disadari sebagai rangsang pendengaran.
Proses perkembangan bicara melibatkan banyak fungsi khusus yang terintegrasi. Diperoleh fungsi pendengaran untuk menerima informasi dari luar, fungsi saraf perifer untuk penghantaran, saraf pusat untuk pengolahan informasi, fungsi luhur, komponen motorik serta otot-otot yang kesemuanya bekerja dengan baik. Yang bertanggung jawab untuk kemampuan berbicara adalah daerah broca yang terletak di lobus frontalis kiri dan berkaitan erat dengan daerah korteks dan mengontrol otot-otot penting untuk artikulasi. Sedangkan daerah yang bertanggung jawab untuk pemahaman bahasa baik tertulis maupun lisan adalah daerah wernicke bertanggung jawab untuk memformulasikan pola pembicaraan koheren yang disalurkan melalui seberkas serat ke daerah brocca yang kemudian mengontrol artikulasi pembicaraan. Daerah wernicke menerima masukan dari korteks auditorius di lobus temporalis yang merupakan suatu jalur yang penting untuk memahami bahasa lisan.
Urutan proses yang terlibat sewaktu mendengar dan berbicara adalah sebagai berikut:
a.       Sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik primer yang natinya akan menjadikan sinyal tadi dalam bentu kata-kata
b.      Kata-kata lalu diinterpretasikan di area wernicke
c.       Penentuan buah pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan juga terjadi di dalam area wernicke
d.      Penjalaran sinyal-sinyal dari area wernicke ke area broca melalui fasikulus arkuatus
e.       Aktivitasi program keterampilan motorik yang terdapat di area broca untuk mengatur pembentukan kata
f.       Penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot bicara

3.3.            Etiologi
Tuna rungu wicara merupakan akibat gangguan pendengaran pada anak, sedangkan gangguan pendengaran pada anak dibedakan atas penyebab pada masa prenatal, perinatal dan postnatal.

a.       Masa Prenatal
1)      Genetik Herediter, bila salah satu dari orang tua menderita jenis ketulian yang bersifat dominan, kemungkinan 50% dari anak-anak akan tuli. Hal ini terdapat pada 10% dari semua jenis ketulian yang bersifat herediter, sedangkan 90% lainnya bersifat resesif. Pada sindrom Waardenburg (tuli herediter) kedua iris warnanya berbeda (heterokrimia iridum), jarak kedua mata lebih lebar akibat lipatan kulit epikantus yang lebih jelas dan terdapat sekelompok rambut putih di bagian muka dari kepala. Sindrom Tietz, merupakan tuli herediter dengan fenilketonuria, biasanya disertai retardasi mental.
2)      Non Genetik seperti gangguan/kelainan pada masa kehamilan, kelainan struktur anatomi dan kekurangan zat gizi ( misalnya defesiensi Jodium).

Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus akan berakibat terjadinya ketulian. Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes, dan Sifilis), campak dan gondong. Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, gentamycin, streptomycin, dan lain-lain, juga mempunyai potensi menyebabkan terjadinya gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea). Malformasi struktur anatomi yang dikenal sebagai penyebab ketulian antara lain adalah atresia liang telinga dan aplasia koklea.

b.      Masa Perinatal
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain lahir prematur, berat badan kurang dari 1500 gram, tindakan dengan alat pada saat proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), dan bayi kuning (hiperbilirubinemia), bayi yang lahir tidak langsung menangis (asfiksia), dan hipoksia otak (nilai Apgar kurang dari 5 pada 5 menit pertama. Biasanya jenis ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal ini adalah tuli syaraf dengan derajat ketulian umumnya berat atau sangat berat terjadi pada kedua telinga (bilateral).

c.       Masa Postnatal
Adanya infeksi bacterial/viral seperti rubella, campak, parotis, infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal dapat menyebabkan tuli syaraf atau tuli konduktif.

Menurut Am Joint Comintte of infant Hearing Statement (1994) menetapkan bayi yang berisiko tinggi terhadap ketulian  antara lain oleh:
  1. Terdapat riwayat keluarga dengan tuli
  2. Adanya infeksi Torchs (Toxoplasma Rubella Cytomegalo Herpes simplex Siphilis) terutama pada trisemester pertama
  3. Berat badan lahir rendah < 1500 gram
  4. Hiperbilirubinemia (bayi kuning)
  5. Asfiksia berat (APGAR skore 0–4 pada menit pertama, 0–6 pada menit kelima)
  6. Pemakaian obat ototoksik (obat yang dapat merusak system pendengaran)
  7. Penggunaan alat bantu pernafasan mekanik (ventilator) biasanya dirawat di ICU> 5 hari
  8. Terdapat sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
  9. Terdapat kelainan yang terdapat pada kepala leher
  10. Meningitis bakterialis (infeksi selaput otak)

Sedangkan pada beberapa faktor yang bisa menyebabkan tunawicara, diantaranya:

a.       Hipertensi

b.      Faktor genetik /turunan dari orang tua

c.       Keracunan makanan

d.      Tetanus Neonatorum (Penyakit yang menyerang bayi saat baru lahir. Biasanya disebabkan oleh pertolongan persalinan yang tidak memadai)

e.       Difteri (Penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas)


3.4.            Klasifikasi
Ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat kehilangan pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan pendengaran secaraanatomis, serta etiologis.

a.       Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes dengan menggunakan audiometer ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1)      Tunarungu ringan (mild hearing loss)
2)      Tunarungu sedang (moderate hearing loss)
3)      Tunarungu agak berat (moderately csevere hearing loss)
4)      Tunarungu berat (severe hearing loss)
5)      Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)

b.      Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1)      Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara da bahsa berkembang
2)      Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang

c.       Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat diklasifasikan sebagai berikut.
1.      Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, yang berfungsi sebagai alat konduksi atau pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam
2.      Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis)
3.      Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorineural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga dalam/saraf pendengaran


d.      Berdasarkan etiologi atau asal usul ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut.
1)      Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan)
2)      Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh factor nongenetik (bukan keturunan)

Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut BOOThroyd. Klasifikasi dan karakteristik ketunarunguan diantaranya didasarkan pada:
a.       Kelompok I: Kehilangan 15-30 dB: mild hearing losses atau ketunarunguan ringan;  daya tangkap suara cakapan manusia normal
b.      Kelompok II: Kehilangan 31-60 dB: moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap cakapan manusia hanya sebagian
c.       Kelompok III: Kehilangan 61-90 dB: severve hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap cakapan suara manusia tidak ada
d.      Kelompok IV: Kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali
e.       Kelompok V: Kehilangan lebih dari 120 dB: total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali

3.5.            Manifestasi Klinis
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai bila:
a.        Usia 12 bulan: belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
b.       Usia 18 bulan: tidak dapat menyebut satu kata yang mempunyai arti
c.        Usia 24 bulan: perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
d.       Usia 30 bulan: belum dapat merangkai dua kata
Karakteristik Anak Tunarungu
Beberapa karakteristik anak tuna rungu:
1)      Tidak mampu mendengar
2)      Terlambat perkembangan bahasa
3)      Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
4)      Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
5)      Ucapan kata tidak jelas
6)      Kualitas suara aneh/monoton
7)      Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar

8)      Banyak perhatian terhadap getaran
9)      Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga

Apabila seorang anak memiliki 6 ciri dari 9 ciri di atas, maka mereka dikategorikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan khusus.

Karakteristik tunawicara:
1)      Berbicara keras dan tidak jelas
2)      Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
3)      Telinga mengeluarkan cairan
4)      Menggunakan alat bantu dengar
5)      Bibir sumbing
6)      Suka melakukan gerakan tubuh
7)      Cenderung pendiam
8)      Suara sengau
9)      Cadel

3.6.            Perkembangan Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara
a.       Pengaruh Pendengaran Pada Perkembangan Bicara dan Bahasa
Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan demikian pada anak tunarungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraban.
Bahasa mempunyai fungsi dan peran pokok sebagai mesia untuk berkomunikasi. Dalam fungsinya dapat pula di bedakan berbagai peranan lain dari bahasa seperti:
·         Bahasa sebagai wahana untuk mengadakan kontak atau hubungan
·         Untuk mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan keinginan
·         Untuk mengatur dan menguasai tingkah laku orang lain
·         Untuk pemberian orang lain
·         Untuk memperoleh pengetahuan

Perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tunarungu terutama yang tergolong tunarungu total tentu tidak mungkin untuk sampai pada penguasaan bahasa melaui pendengarannya, melainkan harus melalui pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak tunarungu mempergunakan segala aspek yang ada pada dirinya adapun media komunikasi yang dapat di gunakan adalah:
·         Anak tunarungu yang mampu bicara, tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan dari pihak anak tunarungu
·         Mengunakan isyarat sebagai media

b.   Perkembangan Kongnitif
Umunya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal tapi di pengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan kiranya daya abstraksi anak. Dan mengakibatkan penghambat proses pencapaian yang lebih luas. Kerendahan tingkat intelegensi anak tunarungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah melainkan secara umum karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang tidak semua aspek intelegensi terhambat, aspek intelegensi yang terhambat perkembanganya ialah bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian hubungan, menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian.
c.   Perkembangan Emosi
Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan sering kali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negative atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan keimbangan dan keragu- raguan emosi anak tunarungu selalu bergolak di satu pihak karena kemiskinan bahasanya dan di pihak lain karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak tunarungu bila di tegur oleh orang yang tidak di kenalnya akan tampak resah dan gelisah.

d.   Perkembangan Sosial
Anak tunarungu memiliki kelainan dalam segi fisik biasanya akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyusuaian diri terhadap lingkungan. Anak tunarungu bsnysk di hinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya, anak tunarungu sering mengalami berbagai konflik, kebingungan, dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam lingkungan yang bermacam- macam.kesulitan bahasa tidak dapat di hindari untuk anak tunarungu, namun tidaklah demikian karena anak ini mengalami hambatan dalam bicara.

e.   Perkembangan Prilaku Anak
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima ransangan pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi di hubungkan denagn sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.

3.7.            Pemeriksaan Penunjang
Walaupun ketulian yang dialami seseorang bayi/anak ringan, dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal, seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan pariode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Pendapat lain mengatakan bahwa dalam proses belajar berbicara masa yang paling penting berlangsung antara 2-3 tahun. Teknik pemeriksaan pendengaran pada bayi  atau anak, yaitu:
a.         Free Field Test
Pemeriksaan ini dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari 60 dB), idealnya pada ruang kedap suara. Sebagai sumber bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastic berisi pasir, remasan kertas minyak, bel, terompet, mainan yang mempunyai frekuensi tinggi dll. Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut.

b.        Behavioral Obsevastion (0-6 Bulan)
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengamati respon terhadap sumber bunyi berupa perubahan sikap atau reflex yang terjadi pada bayi yang sedang diperiksa. Bila tidak ada respon terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan diulangi sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil pemeriksaan ketiga dilakukan 1 minggu kemudian. Seandainya tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologi lanjut yang lebih lengkap.

c.         Conditioned Test (2-4 tahun)
Sebelum pemeriksaan anak dilatih untuk melakukan suatu permaian dan mendengar stimuli bunyi permaian tersebut. Setelah anak terbiasa, dilakukan pemeriksaan yang sebenarnya dengan menggunakan sumber bunyi tersebut yang diketahui frekuensi dan intensitasnya.

d.        Audiometri Nada Murni
Pemeriksaan ini dilakukan pada anak yang berusia lebih dari 4 tahun. Pemeriksaan ini menggunakan audiometric. Sumber suara berupa nada murni. Pemeriksaan inidilakukan pada ruang kedap suara. Suara dengan intensitas terendah dicatat pada audiogram.


e.         BERA (Brain Evoked Respone Audiometry)
Penggunaan BERA sangat objektif, penggunaan yang mudah, tidak invasive dan dapat dilakuakn pada pasien koma sekalipun. Tes BERA ini menilai fungsi pendengaran bayi anak yang tidak koperatif dan tidak dapat diperiksa dengan cara konvensionil. Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberian impuls sampai sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang.

f.         Ottoaucoustic Emissions (OAE)
Menilai fungsi koklea secara obyektif dan dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Sangat bermanfaat untuk program skrining pendengaran pada bayi dan anak. Prinsip pemeriksaan ini adalah merekam suara yang terbentuk pada telinga dalam. Suara dapat terdeteksi pada telinga yang dapat mendengar dengan normal. Suara ini mencerminkan adanya struktur dan fungsi normal yang dibutuhkan oleh telinga untuk mendengar. OAE dapat dilakukan dengan cepat, tidak mahal dan mudah dilakukan dengan pelatihan ringan. Earphone dipasang pada telinga bayi kemudian mesin akan mencatat stimulus yang diberikan serta respon yang timbul.

3.8.            Penatalaksanaan
Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian upaya habilitasi harus dilakukan sedini mungkin. Usia kritis dalam proses belajar mendengar dan berbicara adalah sekitas 2-3 tahun.
Anak dengan tuli saraf berat harus segera memulai memakai alat bantu dengar (ABD) yang sesuai. Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka.

a.   Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan
Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga. Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak.
b.     Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Belakang Telinga
Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang  sampai berat.  Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang lain.

c.     Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika dari telinganya keluar cairan (otore). Alat ini dipasang di kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis. Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang di belakang telinga.

Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat bilateral atau total bilateral yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:
·         Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar
·         Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang tertangkap oleh mikrofon
·         Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik
·         Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak.

Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu mereka dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan. Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim ke otak dan kita menerimanya sebagai suara. Implan koklea bekerja dengan cara yang sama. Secara elektronik, implan koklea menemukan bunyi yang berarti dan kemudian mengirimnya ke otak. Untk anak yang mengalami tuli berat sejak lahir, sebaiknya implan dipasang pada usia 2 tahun.
Sebelum dirujuk ke SLB, sebelumnya anak diperiksa oleh psikolog untuk menilai tingkat intelejensinya, kemudian dilakukan proses habilitasi di SLB B, untuk anak tuna rungu, jika disertai dengan retardasi mental, maka dirujuk ke SLB C. Pendidikan khusus dapat dimulai pada usia 2 tahun. Proses rehabilitasi untuk anak tuna rungu membutuhkan kerjasama antara berbagai disiplin, antara lain dokter spesialis THT, audiologist, ahli terapi wicara, psikolog anak, guru khusus untuk tuna rungu dan keluarga penderita.

4. Adaptasi Makhluk Hidup Terhadap Lingkungannya
Adaptasi adalah penyesuaian diri makhluk hidup terhadap lingkunganya. Setiap makhluk hidup telah dibekali kemampuan beradaptasi oleh Tuhan. Kemampuan beradaptasi itu berguna untuk mempertahankan hidupnya. Dengan dapat mempertahankan hidup maka hewan dan tumbuhan terhindar dari kepunahan dan ekosistem tetap seimbang.
Cara beradaptasi setiap makhluk hidup berbeda-beda, berdasarkan jenis adaptasinyanya dibagi menjadi tiga, yaitu beradaptasi secara morfologis, fisiologis.

4.1 Adaptasi Morfologi
            Adaptasi Morfologi yaitu penyesuaian bentuk tubuh atau struktur tubuh tertentu dari suatu organisme terhadap lingkungannya.
a.    Bentuk paruh burung berbeda-beda disesuaikan dengan makananya. Paruh burung bangau panjang bagian bawah lebar untuk menangkap mangsa
b.    Bentuk cakar burung berbeda-beda sesuai dengan tempat hidupnya. Kaki ayam tegap dan kuat untuk berjalan di darat.
c.    Tipe mulut serangga berbeda-beda. Mulut penjilat: pada lebah dan lalat.

4.2 Adaptasi Fisiologi
Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian fungsi kerja alat-alat tubuh suatu organisme terhadap lingkungannya.
1.    Adaptasi terhadap sistem pencernaan
       Hewan-hewan herbivor beradaptasi terhadap makanan secara fisiologis. Sapi, kambing, kerbau, dan domba merupakan hewan herbivor yang dapat mencerna zat makanan di dalam lambung. Rayap dan Teredo navalis yang hidup di kayu galangan kapal dapat mencerna kayu dengan bantuan enzim selulose.
2.    Tumbuhan pemakan serangga (insektivora). Contoh tumbuhan pemakan serangga adalah tumbuhan venus. Tumbuhan ini memiliki jebakan atau trap (modifikasi dari daun) yang dapat tertutup bila ada serangga yang masuk di antara rambut-rambut trap tersebut. Didalam trap tersebut juga diproduksi cairan asam enzimatik yang akan menguraikan jaringan hidup, mengubahnya menjadi bentuk yang dapat dimakan oleh tanaman tersebut. Ketika proses pencernaan telah selesai maka trap akan membuka kembali, dan menyisakan struktur seperti rangka sedangkan materi nitrogen telah digunakan oleh tanaman sebagai nutrisi. Selain venus tumbuhan yang memakan serangga yaitu kantung semar dan embun matahari.

4.3 Adaptasi Tingkah Laku
Adaptasi tingkah laku adalah perubahan perilaku suatu organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Beberapa contoh adaptasi tingkah laku adalah sebagai berikut:
1.   Mimikri
       Mimikri adalah perubahan warna kulit hewan sesuai lingkungan tempat ia tinggal, contohnya bunglon. Apabila bunglon tinggal di daun yang hijau, tubuhnya akanberwarna hijau seperti daun. Serangga juga memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya seperti belalang yang memiliki bentuk seperti daun dan ranting. Hal ini menyebabkan bunglon terhindar dari pemangsanya
2.    Autotomi
       Autotomi yaitu mengelabuhi musuh dengan cara memutuskan ekor. Cecak merupakan contoh hewan yang ekornya mudah putus, dalam keadaan bahaya, cecak akan menggunakan cara itu untuk mengelabuhi musuh.
3.    Hibernasi
       Pada saat musim dingin ular bartahan hidup dengan cara hibernasi, yaitu terlelap pada tidur khusus yang sengaja dilakukan pada saat musim dingin.
4.    Estivasi
       Estivasi yaitu tidur dikala musim panas, pada saat musim panas beberapa hewan bergerak mencari perlindungan dan tidur karena udaranya sangat panas dan kering. Contoh hewan yang melakukan estivasi yaitu kelelawar dan tupai.
5.    Munculnya paus ke permukaan laut
       Paus merupakan hewan mamalia yang hidup diair. Mereka bernafas menggunakan paru – paru untuk mrnghirup undara yang menggandung oksigen, hewan tersebut muncul kepermukaan air laut.
6.    Pengeluaran cairan tinta (tentacles) oleh cumi – dan gurita.
       Untuk melindungi diri dalam keadaan bahaya cumi – cumi dan gurita akan mengeluarkan tinta hitam dari tubuhny, sehingga musuh tidak dapat mengetauhi keberadaannya karena lingkungannya gelap.
7.    Perilaku Produksi
       Dalam perilaku reproduksi, biasanya seekor hewan jantan bertarung dengan jantan lain. Hal ini terjadi agar dapat menguasai si betina dan dapat melakukan perkawinan untuk berkembang biak. Ada pula jantan yang menunjukkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya untuk menarik perhatian si betina. Contohnya, burung merak jantan akan mengembangkan bulu ekornya untuk menarik perhatian betina saat musim kawin.
8.    Adaptasi tingkah laku rayap
       Pada saat mengalami pengelupasan kulit, hewan flagellata pada usus bagian belakang rayap ikut terkelupas. Untuk mendapatkan kembali flagellata tersebut, rayap biasanya memakan kembali kelupasannya kulitnya.
9.    Pohon Jati
       Pohon jati menggugurkan daunnya saat musim kemarau untuk mengurangi penguapan.




DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Purwaka, 2007 
Komunikasi Aktif Bagi Tunanetra Aktifitas Dalam Pembelajaran Pada Sistem Pendidikan Inklusif, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Suparno, et.al
Pendidikan Berkebutuhan Khusus,  Bnajarmasin: Dinas pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan

Supartini, Yupi, 2004.
Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan  Anak, Jakarta: EGC

Wardhani, IGAK, 2007
Pengantar Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Universitas Terbuka

Wong, Donna. L, 2004
Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik: Edisi 4, Jakarta, EGC

wikipedia.com, Adaptasi Makhluk Hidup Terhadap Lingkungan, Diakses 16-1-2013

Oke Sekianlah artikel kami yang membahas mengenai SAP terapi bermain, semoga artikel ini bermanfaat bagi teman-teman semua, dan jangan lupa share artikel kami ini jika bermanfaat dan tetap mencantumkan link blog kami. Jangan bosan untuk membaca artikel lainnya disini, Sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

0 komentar